Rabu, Juli 02, 2008

Konser Puisi Mathori A Elwa: Cerita tentang Hidup dan Mati

Puluhan pria duduk bersila di tiga panggung kecil yang diterangi sekian warna lampu. Mereka mengenakan kain sarung merah dipadu baju gamis putih. Memainkan beberapa alat musik, terkadang bersenandung, berteriak, merespon seorang 'dalang' yang berada tepat di depan tengah panggung.

Senin (6/11) malam itu, selama lebih dari dua jam mulai pukul 19.00, karya-karya puisi Mathori A Elwa yang terangkum dalam "Rajah Negeri Istighfar" dipentaskan dengan penyelenggara Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (Hismi) bekerjasama dengan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan Aksara Indonesia. Pesan-pesan yang mengalir, seakan menuturkan hal-hal yang semestinya secara wajar dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia.
Serasa cermin, kembali mengingatkan agar selalu ingat Yang Maha Kuasa dalam segala nafas yang kita miliki. Tatkala telah hadir saat kematian, maka apapun tak mampu menolong kecuali hal-hal yang telah ditetapkan.

Secara singkat visualisasi dan musikalisasi puisi tersebut diwakili oleh kisah manusia, ada orang sekarat, lengkap dengan suasana sakaratul maut saat nyawa dicabut, teriak histeris sanak keluarga, dan tak lupa prosesi yang menghadirkan keranda beserta tabur-tabur bunga.
Selain 'dilagukan' dengan mengutip beberapa ayat Al Quran, puisi-puisi itu juga dibaca seperti layaknya pembacaan serupa. Puji-pujian Islam bergaya Jawa, pembacaan ayat-ayat tetentu beserta terjemahannya, menjadi sajian yang 'menyentuh hati'.

Mathori memang hampir tidak membawakan puisinya sendiri di atas panggung. Malam itu pendukung acara adalah beberapa seniman muda, termasuk musik tradisional Pesantren "Al Badar", Hadrah PP Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul, Syi'ir Kubur PP Fadlun Minal- lah Wonokromo Bantul.

Konser puisi tersebut bertindak sebagai sutradara KH Muhammad Khatib dan H Zainal Arifin Thoha, penata artistik oleh Fauzan Rafiqun, pengarah proses We'es Ibnoe Say, KH D Zamawi Imron, M Imam Aziz, dan Bambang Darto. Sedangkan supervisi dilakukan oleh KH Mustofa Bisri.

Pada akhir acara Mathori mengatakan, bahwa pentas ini adalah sebuah permulaan. "Dan seperti malam ini, semoga lain kali kita bisa dipertemukan oleh nuansa ketulusan malam ini," katanya sembari menekankan, acara ini sungguh berharga lantaran semua pendukung acara benar-benar hadir tanpa ada imbalan sepeserpun.

Dan ketulusan menjadikan semuanya indah meski sederhana. Bahkan sesaat sebelum acara berakhir, ada kerusakan teknis sound sistem. Namun sebagai permulaan -- seperti yang dikatakan Mathori, rasanya pentas itu relatif cukup layak dibanggakan, setidaknya pesan-pesan tentang cerita hidup hingga mati telah disajikan dengan sejuta makna. (cr8) [Bernas, 9 Nopember 2002]

Selasa, Juli 01, 2008

Pemimpin yang Tak Termalukan: Sajak ”Melawan Arus Samiri” Mathori A Elwa


HAMPIR dalam setiap pertikaian elite politik di negeri ini, selalu muncul pernyataan-pernyataan ganjil, yaitu repetitif dari kalimat: ”Jangan sampai ada yang dipermalukan.” Maksudkan tentu saja, apapun kejadiannya jangan sampai ada di antara para elite itu yang dipermalukan. Tentu saja pernyataan ini aneh jika ditilik dari tujuan dibentuknya elite politik itu. Demi 220 juta rakyat, maka jika memang diperlukan, mempermalukan beberapa orang elite politik adalah harga yang sangat murah. Pemimpin dipilih untuk tujuan-tujuan pemilihnya, bukan sebaliknya.

Pokok tema inilah yang secara galak diamanatkan dalam sajak Mathori A. Elwa, ”Melawan Arus Samiri” (termuat dalam kumpulan Rajah Negeri Istighfar, Aksara Indonesia, Yogyakarta 2000, hlm. 53-82). Sajak ini terdiri dari 49 bait, masing-masing bait diberi nomor (000) sampai (048). Sebagian besar bait itu diawali dengan tiga baris awal: kudoakan engkau / menjadi presiden /menggantikan gus dur /. Semiotik dari ”engkau”, ”presiden” dan ”gus dur” dalam pokok tema sajak ini adalah pemimpin (elit). Dalam bait (018) pokok tema ini dipersempit lagi dalam personifikasi Kanjeng Samiri: .../jangan coba-coba melawan raden ngabehi kanjeng samiri/ ... Semiotik dari bait ini adalah pemimpin munafik.

Siapa yang dimaksud MAE dengan Samiri ini? Jawabannya bisa saja a atau b atau a+b, atau a...z. Dalam pemahaman makna semesta, jawaban seperti itu tidak penting. Tulisan ini sekadar mencoba memaknai lebih lanjut dalam kerangka semiotik pokok tema dari sajak panjang ini.

Nama Samiri dalam sajak ini jelas sekali diambil oleh MAE dari cerita Qur’an, yaitu tokoh yang hidup sezaman dengan Nabi Musa dan Harun (lihat Thaha: 85-97). Samiri adalah seorang penyembah sapi, dan tokoh yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Yahudi. Secara munafik ia pura-pura menjadi pengikut Musa. Ketika Musa pergi, Samiri membuat patung anak sapi dari emas yang jika tertiup angin bisa berbunyi. Atas perintah Samiri patung anak sapi ini disembah oleh sebagian pengikut Musa. Masyarakat Yahudi terpecah menjadi dua, yang konsisten mengikuti ajaran Musa, dan yang kembali menyembah sapi. Kepada Musa, Samiri berkata: ”Aku ikuti sedikit ajaranmu, kemudian aku lupakan, karena begitulah aku diperintah oleh nafsuku.” Semiotik Samiri dalam Qur’an adalah nafsu yang memerintah.Samiri dalam MAE adalah ‘engkau’ yang ‘pemimpin’; seperti sifat berikut dalam bait (029) dan (044), yang bisa paling mewakili di antara bait-bait yang lain: (029) / ujian adalah sunatullah / yang lolos naik derajatnya / yang gagal menyesal / kemudian tak berguna / bangsa kita membutuhkan banyak hanya / orang-orang sengsara / agar kita makin canggih mengamati / siapa naik derajat sejati / siapa pura-pura jadi sufi / siapa tak berguna lalu mati / habis manis sepah dibuang / tidak manis dibiarkan kelaparan / bermanis-manislah kalau mau diperhatikan / begitu jugakah dengan Tuhan? // (044) / bangsa yang tak / berpikir siapa pemimpinnya adalah / bangsa yang tersedot / hawa nafsunya / tapi jika hanya pikiran yang kaupakai untuk / menilai / bersiaplah untuk berkata dingin tanpa rasa: / emangnya gua pikirin? / mathori baru tahu rasa//.‘Mathori’ bisa bermakna sang penyair sendiri. Dalam kerangka semiotik ‘mathori’ adalah representatif dari korban kemunafikan para pemimpin (Samiri) yang tidak memikirkan ummatnya. Dalam konstelasi politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter, kekuasaan (akses kebijakan publik) selalu dipegang kelompok elite (minoritas). Di dalam demokrasi yang ideal sekalipun, kekuasaan terhadap kebijakan publik tetaplah dipegang oleh minoritas. Bedanya dengan otoriter, kekuasaan demokratis bisa diganti setiap saat diperlukan oleh publik. Kelompok elite baik dalam demokrasi maupun otoriter memiliki naluri untuk mempertahankan kekuasaannya. Adagium bahwa hanya tokoh politik yang selalu ingin dipilih kembali dan dipilih kembali adalah benar dan terbukti.

Lapangan perebutan kekuasaan itulah yang mendorong timbulnya karakteristik Samiri. Apapun bisa dilakukan asalkan menang. Sebab kelebihan sekaligus kelemahan demokrasi hanyalah soal jumlah suara. Dan jumlah suara itu hanya bisa diperebutkan dengan tiga perkara saja: diplomasi, senjata dan ekonomi. Pengertian ketiganya sangatlah luas dan kompleks dan pada perwujudannya sering tampak muskil.

Wacana perebutan kekuasaan sangat terbuka dalam kancang demokrasi, sebaliknya wacana pengelolaan kekuasaan yang benar (menyenangkan dan menyejahterakan banyak orang) tidak muncul. Teks sajak MAE, ”Melawan Arus Samiri” adalah perenungan mendalam atas pengalaman empirik penyairnya terhadap kemunafikan kepemimpinan dan proses perebutan kekuasaan yang tiada habis-habisnya. Dalam konteks semiotik Samiri, kekuasaan adalah cara sekaligus tujuan, apapun bisa diabaikan, juga perasaan malu. Semua itu membuat penyair ini nanar.! ***Agus Fahri Husein, budayawan. [Dikutip dari Minggu Pagi, No. 14 Th. 56 Minggu 1 Juli 2003]